Akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan di khalayak umum mengenai pernyataan Presiden RI Joko Widodo yang menyatakan bahwa seorang Presiden diperkenankan untuk berkampanye dan memihak pada salah satu pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres). Hal itu kembali ia tegaskan pada suatu doorstop sambil membawa kertas A3 yang tertulis ayat suatu Undang-undang yang menyatakan bahwa Presiden dan Wapres diperbolehkan untuk berkampanye.
Sebelumnya, publik dihebohkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah batasan usia Capres-Cawapres menjadi umur minimal 40 tahun atau pernah menduduki jabatan kepala daerah sebelumnya. Hal ini diduga untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka yang juga Putra Presiden Jokowi dan Keponakan Ketua MK Anwar Usman untuk maju sebagai Cawapres pada Pilpres 2024.
Kondisi tersebut semakin memuncak saat para akademisi termasuk guru besar/profesor menyampaikan pernyataannya. Dimulai dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 31 Januari 2024 menyampaikan Petisi Bulaksumur yang menyeru kepada Presiden Jokowi untuk kembali ke koridor demokrasi serta mengedepankan nilai kerakyatan dan keadilan sosial. Disusul oleh Universitas Islam Indonesia (UII) yang menyatakan bahwa "Indonesia Darurat Kenegarawanan" dan meminta pejabat yang terlibat aktif dalam kampanye Pilpres 2024 untuk mundur dari jabatannya.
Setelah kedua universitas tersebut menyuarakan keresahannya, beberapa perguruan tinggi terus menyusul untuk mengelorakan keresahannya pada kondisi negeri akhir-akhir ini. Seperti Univesitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Andalas (Unand), Universitas Lalmbung Mangkurat (ULM), Universitas Hassanudin (Unhas), dan beberapa perguruan tinggi lainnya.
Hal ini perlu kita pahami secara serius sebab seorang akademisi merupakan orang yang mempunyai suatu pemahaman keilmuan yang tinggi dan apabila akademisi sudah turun gunung untuk menyuarakan keresahannya, maka dipastikan bahwa kondisi negara sedang tidak baik-baik saja.
Perlu kiranya bagi kita untuk menyikapi ini secara saksama dan awasi proses demokrasi yang kita sedang rasakan agar demokrasi yang terjadi dapat berjalan sesuai koridor dan tidak boleh adanya kekacauan baik sebelum, saat, dan pasca pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Namun, kita tidak boleh memilih golpot pada gelaran ini sebab suara yang kita pilih pada pemungutan suara nantinya akan berpengaruh untuk situasi negara bagi 5 tahun mendatang.
Referensi:
- Memahami Kegelisahan di Balik Gelombang Seruan Para Akademisi. 2024. Diakses pada 6 Februari 2024 dari https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/02/04/memahami-kegelisahan-di-balik-gelombang-seruan-para-akademisi-kampus
0 Komentar